Senin, 28 November 2011

Kearifan Budaya membaca Bencana


Peristiwa alam yang memakan korban manusia disebut bencana, sedangkan peristiwa alam yang tidak berakibat pada manusia bukan merupakan bencana. Budaya masyarakat kita ternyata sudah memiliki cara membaca bencana. Perlu dipadukan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Kitab Alqur’an surat QS Al Hadid, 22-24 menyatakan sebagai berikut: “TIADA SUATU PUN BENCANA YANG MENIMPA DI BUMI INI ATAU PADA DIRIMU SENDIRI, MELAINKAN SUDAH ADA “KITAB” (CATATAN/BLUE PRINT) SEBELUM KAMI (TUHAN) MEWUJUDKANNYA. SUNGGUH BAGI ALLAH, YANG DEMIKIAN ITU MUDAH”
Apa yang kita pahami dari ayat ini? Saya memahaminya sebagai berikut: Bahwa yang disebut musibah, bencana atau penderitaan semuanya sudah ada cetak biru sebelum semua yang ada ini diciptakan. Tidak ubahnya seorang arsitek yang membuat gambar bangunan sebelum bangunan itu dibangun.
Bedanya: CETAK BIRU BENCANA ITU YANG MEMBUAT MANUSIA SENDIRI. TUHAN yang Maha Kuasa memberikan IRADAT-NYA kepada kita. Dan Dia tidak merugikan manusia sekecil apapun. Ruh manusia sebelum diadakan di dunia ini, berdiskusi dan bernegosiasi dengan Tuhan. Manusia mendapatkan hak prerogratif untuk hidup berdasarkan hukum alam. Inilah saat cetak biru itu dibuat. Cetak biru itu menentukan masa kini dan masa depan manusia.
Kita sekarang ini adalah wujud cetak biru kita di masa lalu. Masa depan adalah wujud cetak biru kita di masa kini. Semuanya sudah tergambar dalam kitab “hukum alam”. Ini berarti kita telah menyetujui bahwa akan terjadi bencana alam bila kita melakukan perbuatan A, B, atau C. Jadi kita tidak selayaknya sedih atau senang bila ada BENCANA ALAM.
Kenapa? Sebab itu adalah HASIL PERBUATAN KITA SENDIRI. Maka, hendaknya kita membuat kebajikan dan amal sholeh sekarang agar masa depan kita akan menjadi baik. Ayat kedua menyatakan alasan-alasan logisnya: “HAL INI DIMAKSUDKAN AGAR KALIAN SEMUA TIDAK BERDUKA CITA TERHADAP APA YANG LUPUT DARI USAHAMU, DAN TIDAK TERLALU GEMBIRA TERHADAP APA YANG KAMU DAPATKAN (DI DALAM HIDUP INI). ALLAH TIDAK MENCINTAI ORANG YANG SOMBONG DAN MEMBANGGAKAN DIRI” “MEREKA ADALAH ORANG-ORANG YANG BAKHIL DAN MENYURUH ORANG LAIN BERBUAT BAKHIL. BARANGSIAPA YANG BERALING DARI KEBENARAN, KETAHUILAH ALLAH ITU MAHA KAYA DAN MAHA TERPUJI”
Tuhan pasti tidak merugikan manusia. Tidak pula memaksa manusia itu menerima perjanjiannya. Dia tawarkan dengan sukarela. Apa yang kita terima dalam hidup sekarang ini, merupakan hasil dari pilihan kita sendiri. Kita diberi kesempatan untuk berkarya buat kehidupan di masa yang akan datang. Soal bencana alam sebagai akibat dari perbuatan manusia tersebut ada alasan ilmiahnya. Sesaat, kita barangkali tidak bisa menghubungkan kejadian bencana alam dengan polah tingkah manusia. Padahal dua hal ini sangat erat hubungannya.
Penjelasannya seperti ini: Bencana alam geologi pada umumnya berukuran besar. Bencana alam terbagi menjadi bencana yang disebabkan murni oleh alam, bencana karena ulah manusia, dan terakhir adalah bencana campuran keduanya. Bencana alam geologi terjadi karena dinamisme kerak bumi yang dalam keberadaannya kurang lebih 5 miliar tahun telah secara terus menerus melepaskan energi panas dalam berbagai bentuk. Pelepasan energi ini tidak lebih karena proses pendinginan bumi sehingga kondisinya memungkinkan untuk dihuni oleh makhluk bumi.
Namun manusialah yang  berkontribusi dalam pemanasan global. Hal ini mengakibatkan bencana alam. Dalam lintasan sejarah, bencana alam geologi sangat akrab dengan budaya manusia. Sebagai contoh, pusat kerajaan Mataram yang harus pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur karena letusan gunung Merapi. Contoh lainnya adalah kota Pompeii, sebuah kota zaman Romawi kuno yang hancur karena letusan gunung vesuvius.
Sudah sejak lama Gunung berapi juga dipahami sebagai sumber kekuatan, contoh nyatanya adalah Keraton di Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi yang berada dalam satu garis lurus. Secara kebetulan atau tidak, Gedung Sate yang notabene dibangun oleh Belanda, Tugu Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat dan Gunung Tangkuban Parahu juga berada dalam satu garis lurus.
Gempa bumi yang beberapa saat lalu menimpa saudara-saudara kita di Sumatra Barat adalah contoh bagaimana sebenarnya gempa tidak pandang bulu. Menimpa masyarakat tanpa memandang kasta, agama, ras suku bangsa apapun. Bahkan, yang paling banyak menjadi korban biasanya justeru masyarakat yang secara ekonomi dikategorikan miskin. Ini juga terjadi di Yogyakarta dan bahkan di Kobe Jepang tahun 1955. Kenapa kaum miskin?.
Ini terjadi karena kaum miskin kebanyakan tinggal di wilayah padat dimana fasilitas jalan di sana dan menuju ke sana kurang layak sehingga bantuan tidak segera datang, karena akses yang kurang ideal. Rumah-rumah warga miskin cenderung berada di sekitar gunung, pesisir atau sungai dan terbangun di atas tanah lempung (silt) atau di wilayah reklamasi. Fondasi di daerah seperti itu tidaklah tahan gempa. Hal ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan wilayah hunian kelompok elite, dimana terdapat fasilitas jalan yang bagus dan memadai, rumah-rumah merka berdiri di dataran yang kuat dan sebagainya.
KEARIFAN BUDAYA
Budaya masyarakat biasanya menyesuaikan dengan alam. Budaya adalah kearifan lokal yang bisa dijadikan cara atau alat untuk menyelamatkan diri dari bencana alam. Misalnya bencana tsunani di Aceh 2004. Di Simelue, Aceh kenapa korban yang jatuh di daerah tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan wilayah lain, yaitu hanya sekitar 44 jiwa?
Sebab para orangtua di daerah tersebut telah mengetahui apa yang mereka anggap sebagai pertanda. Jika laut surut tidak seperti biasanya secara mendadak, kemudian banyak ikan yang menggelepar di garis pantai, maka akan terjadi bencana. Para tetua di sana kemudian memerintahkan agar penduduk Simeleu untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi..
Budaya berkaitan dengan alam. Bahkan dalam banyak peradaban, dikenal ilmu perbintangan dan penanggalan berdasarkan fenomena alam. Misalnya, masyarakat Sunda yang mempunyai kalender Kala Sunda dan masyarakat Jawa memiliki Kalender Pranata Mangsa. Kalender-kalender tersebut tidak hanya sebagai penanda waktu seperti kalender sekarang, namun lebih dari itu, terdapat makna dalam waktu-waktu tertentu.
Dalam Saka Sunda dikenal Kasa pada sekitar Januari, dimana angin bertiup dari barat dan diperkirakan racun terbang tertiup angin. Ciri-cirinya adalah: hujan terus menerus, sumber-sumber air menjadi besar, sungai-sungai banjir. Pohon-pohon yang masih berbuah adalah: Durian, Kepundung, Salak, Nangka Belanda, Lengkeng dan Gandaria. Pada masa ini burung-burung akan sulit mencari makan, makanya akan terjadi migrasi. Untuk petani, kegiatan yang harus dilakukan adalh memperbaiki pematang sawah yang hancur akibat banjir.
Namun berbagai kalender yang disusun oleh para leluhur itu, agaknya kini sudah kurang cocok diterapkan lagi. Ulah tingkah manusia modern yang gemar mengeksploitasi alam habis-habisan membuat pergerakan alam susah untuk dibaca. Kalender itu meskipun kini kurang cocok, namun tidak serta merta harus ditinggalkan.
Kearifan lokal perlu diuji secara empirik dan dikembangkan sehingga menjadi masukan besar bagi pengetahuan, khususnya penanggulangan bencana alam. Sementara itu, manusia yang merupakan “makrokosmos” (lebih besar dari pada alam karena besar/kecilnya alam secara metafisis batiniah ditentukan oleh diri manusia) terap harus berkaca diri: dialah sumber bencana yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar