SEPERTINYA banjir telah menjadi hal yang sangat biasa di negeri ini. Bagaimana tidak? Selama beberapa tahun belakangan ini, hampir setap hari berita banjir dari seluruh Indonesia menghiasi berbagai media. Banjir telah menjadi bencana yang semakin meningkat baik frekuensi maupun luasannya.
Banjir yang terjadi di seluruh negeri ini terjadi karena ketidakmampuan tanah untuk menyerap limpahan air hujan yang jatuh ke tanah yang pada akhirnya menimbulkan erosi karena adanya aliran permukaan. Pendangkalan berbagai penampung air seperti sungai, waduk, danau dan aliran air lain terus menerus terjadi sehingga penampung air tersebut sudah tidak mampu lagi menampung air hujan. Hampir semua kejadian banjir yang terjadi di Indonesia terjadi akibat meluapnya sungai. Kerugian satu kali peristiwa banjir di Jakarta pada tahun 2007 menurut Bappenas sekitar Rp 8 trilyun (rumah, infrastruktur, fasilitas umum, industri, kawasan bisnis). Seperti yang belakangan ini terjadi di Kabupaten Bojonegoro, banjir bandang pada lima bulan terakhir di tahun 2010 sudah terjadi lebih dari 17 kali. Sebagian besar, karena hujan deras yang airnya tidak bisa ditampung di 23 anak sungai Bengawan Solo. Hal ini akibat kerusakan hutan di bagian hulu DAS. Demikian pula banjir yang diikuti langsor yang terjadi dalam dua minggu terakhir di NTT (Kompas 6 Juli 2010)
Penyebab Banjir
Perubahan tata guna lahan dan penggundulan hutan merupakan penyebab utama terjadinya bencana banjir dibandingkan dengan penyebab lainnya. Sebagai contoh, apabila suatu hutan yang berada dalam suatu daerah aliran sungai diubah menjadi permukiman, maka debit puncak sungai akan meningkat antara 6 sampai 20 kali (Loebis, 1984). Angka 6 dan 20 ini bergantung pada jenis hutan dan jenis permukimannya.
Perlu juga diketahui bahwa perubahan tata guna lahan memberikan kontribusi dominan kepada aliran permukaan (run-off). Hujan yang jatuh diatas tanah dan sebagian meresap ke dalam tanah tergantung pada kondisi tanahnya. Bila yang dibicarakan adalah run-off maka, kecepatan air berkisar 0,1 – 1 m/detik bahkan bisa mencapai lebih dari 10 m/detik tergantung pada kemiringan lahan dan penutup lahan. Bila yang dibicarakan adalah resapan maka kecepatan air (konduktifitas hidraulik) yang meresap ke dalam tanah tergantung pada jenis tanah. Bila jenis tanah lempung (clay) berkisar antara 10-12 – 10-9 m/detik. Sedangkan bila jenis tanah lanau (silt) maka kecepatan aliran berkisar antara 10-8 – 10-4 m/detik. Bila jenis pasir maka kecepatan aliran berkisar 10-5 – 10-2 m/detik.
Faktor penutupan vegetasi cukup signifikan mempengaruhi dalam pengurangan ataupun peningkatan aliran permukaan. Hutan yang lebat mempunyai tingkat penutupan lahan yang tinggi, sehingga apabila hujan turun di wilayah hutan tersebut, faktor penutupan lahan akan memperlambat kecepatan aliran permukaan, bahkan bisa terjadi kecepatannya menjadi nol. Ketika suatu kawasan hutan berubah menjadi pemukiman, maka penutupan lahan kawasan ini akan berubah menjadi penutupan lahan yang tidak mempunyai resistensi untuk menahan aliran. Yang terjadi, ketika hujan turun, kecepatan air akan meningkat sangat tajam. Namun resapan air yang masuk ke dalam tanah relatif tetap kecuali lahan berubah. Kuantitas totalnya berubah karena bergantung pada luasan penutupan lahan.
Selama ini, umumnya untuk mengurangi banjir atau genangan yang terjadi dilakukan perbaikan penampang sungai sering disebut dengan istilah populer “normalisasi”. Perbaikan sungai yang dilakukan umumnya dengan melebarkan sungai atau memperdalam (pengerukan) sungai. Istilah normalisasi kurang tepat, karena sebenarnya sungai (alami) sudah normal lalu mengapa harus dinormalkan. Secara alami sungai hampir selalu merubah kondisi fisiknya sesuai dengan perubahan yang terjadi di sungai.
Contohnya, perubahan debit sungai akan diikuti dengan perubahan morfologi sungai. Pengertian ini lebih dominan meluruskan sungai, melebarkan atau memperdalam penampang, agar aliran air lebih cepat dan kapasitas sungai menampung air lebih besar.
Pelebaran sungai bergantung pada tata guna lahan di sekitarnya. Apabila sudah dipadati penduduk maka persoalan menonjol yang terjadi adalah pembebasan tanah. Semakin padat penduduk dan semakin strategis lokasinya, biaya pembebasan akan semakin mahal. Dalam kondisi ini untuk melebarkan menjadi dua kali lebar semula akan sangat mahal dan menghadapi persoalan pembebasan tanah yang cukup sulit dipecahkan. Di samping itu perlu diperhatikan ketersediaan air di DAS untuk cadangan air di musim kemarau. Memperbesar kapasitas sungai berarti memperkecil air yang tertahan di DAS.
Pelebaran atau pengerukan sungai hampir linear dengan debit. Bila sungai dilebarkan menjadi dua kali, maka debitnya meningkat dua sampai empat kali. Demikian pula bila sungai diperdalam dua kali maka debit pada awalnya juga menjadi dua sampai empat kali dari debit semula, namun ada sedimentasi maka kedalaman sungai ada kemungkinan akan kembali seperti semula, bahkan bila laju sedimentasi besar luas penampang sungai akan menjadi lebih kecil.
Alternatif Solusi Banjir
Kerugian akibat banjir sudah tak terhitung lagi. Bukan hanya harta benda, nyawa pun telah banyak terenggut akibat bencana ini. Beberapa alternatif solusi tersebut adalah:
Pertama, Solusi yang paling murah dan mudah adalah panen hujan dan aliran permukaan. Hal ini harus didukung oleh penatagunaan lahan sesuai dengan kemampuannya agar hasil yang diperoleh lebih maksimal. Metoda ini dapat memberikan keuntungan pada petani dalam mengurangi dampak banjir. Caranya mudah yaitu dengan menampung dan menyimpan sebagian air hujan dan aliran permukaan kedalam embung-embung atau kolam-kolam, hal ini tetntu saja didukung dengan penanaman vegetasi diseluruh DAS. Air yang ditampung pada musim hujan selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk tambahan air irigasi (supplementary irrigation) pada musim kemarau. Agar nilai ekonomi air dapat ditingkatkan, komoditas yang diusahakan dipilih yang bernilai ekonomi tinggi (buah-buahan dan sayuran). Teknologi ini berhasil dengan baik diterapkan di Wonosari dan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (Irianto, 2006). Penurunan volume air hujan dan aliran permukaan akibat panen hujan dan aliran permukaan akan dapat menurunkan debit puncak dan memperpanjang waktu respon DAS selang waktu antara curah hujan maksimum dan debit maksimum. Aplikasi teknologi panen hujan dan aliran permukaan ini sudah saatnya disebarluaskan agar manfaat yang diterima masyarakat dapat dioptimalkan.
Kedua, solusi lainnya adalah pembuatan Lubang Resapan Biopori (LRB). Biopori dapat terbentuk dengan cara membuat lubang vertikal ke dalam tanah. Lubang-lubang tersebut selanjutnya diisi dengan bahan organik, seperti sampah organik rumah tangga, daun, potongan rumput dsb. Bahan organik tersebut menjadi makanan organisma di dalam tanah sehingga aktifitas mereka akan meningkat . Dengan meningkatnya aktifitas organisma maka semakin banyak biopori yang terbentuk. Pembuatan LRB mudah, murah dan tidak memerlukan waktu yang lama. Harga satu Bor LRB sekitar Rp 200 ribu dan bisa digunakan oleh banyak orang . Beberapa peralatan yang dibutuhkan sebagai berikut : bor tanah, ember, gayung, bambu dan pipa PVC. LRB yang dibuat dengan kedalaman 1 m dan diameter 10 cm dapat menampung volume sampah dan air hujan 7,9 liter dan luas resapan meningkat dari 79 cm persegi menjadi 3218 cm persegi (40 kali lipat). Sebagai contoh di Kota Bandung, dengan curah hujan di kota Bandung rata 2.000 mm per tahun dan luas kota Bandung 16.767 ha maka potensi air yang bisa diserap oleh tanah adalah 335 juta meter kubik (335 miliar liter). Saat ini penduduk kota Bandung sekitar 2,4 juta orang dan kebutuhan air 200 liter/orang/hari. Jadi per hari dibutuhkan 480 juta liter air atau 175 milyar liter air per tahun. Jumlah rumah yang ada di kota Bandung sekitar 460 ribu. Seandainya setiap rumah masing-masing memililki 10 LRB maka terdapat 4,6 juta LRB di kota Bandung. Jika 50 % dari air hujan tahunan tersebut dapat diserap masuk ke dalam LRB, maka Bandung tidak akan mengalami banjir saat musim hujan dan juga tidak akan terjadi kekeringan ketika musim kemarau. Volume sampah yang bisa ditampung LRB (7,9 liter) x (10 LRB) x (460.000 rumah) = 36,34 juta liter (36.340 meter kubik) sampah organik. Per hari terkumpul di kota Bandung 7,5 ribu meter kubik. 65 persen merupakan sampah organik (4.875 meter kubik). Jadi volume sampah organik yang bisa ditampung oleh LRB 7,5 kali lipat dari potensi sampah harian.
Ketiga, solusi berikutnya adalah reforestrasi (penghutanan kembali) semua kawasan DAS, terutama bagian hulu, dengan berbagai jenis tumbuhan hutan dan dijaga serta dipelihara sampai betul-betul tumbuh dan tegak, mampu tumbuh sendiri dan aman dari gangguan orang ataupun binatang. Program penanaman 1 juta atau 1 milyar pohon dari presiden SBY patut kita dukung dan dilaksanakan secara serius di lapangan.
Keempat. Penegakan hukum untuk para perusak hutan dan para pelanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW). Sudah saatnya pemerintah bertindak tegas terhadap para perusak hutan baik yang legal maupun illegal, juga para pelanggar RTRW sehingga proses degradasi (perusakan) hutan ke depan dapat ditekan sekecil mungkin, begitu juga proses alih fungsi lahan yang tidak terencana harus dapat diminimalkan. Dalam hal ini implementasi UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang harus betul-betul dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen.
Penanganan banjir tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah saja, tetapi perlu partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat. Kampanye pelestarian lingkungan harus terus digalakkan. Konsep panen hujan dan lubang resapan biopori, gerakan penghutanan kembali lahan-lahan gundul serta pentaatan terhadap RTRW, harus diterapkan diseluruh Indonesia sebagai antisipasi penanganan banjir yang murah, mudah efektif dan efisien.
Surjono Hadi Sutjahjo
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar