Rabu, 12 Oktober 2011

Letusan Krakatau (1883) “Fenomena Warna di Langit Dunia”

Pada 1883, Krakatau adalah sebuah pulau gunungapi yang terletak di selat Sunda diantara pulau Jawa dan Sumatera bagian dari Negara Indonesia yang saat itu masih dikuasai oleh Belanda. Lama tertidur, Krakatau meletus hingga terdengar ribuan kilometer di seluruh penjuru dunia. Letusannya dianggap suara terkeras yang pernah terdengar di bumi kala itu. Debu volkanik dan batuapung terlontarkan ke atmosfer mengakibatkan sebagian besar dari pulau itu runtuh menghasilkan kaldera. Tsunami menyusul sesudahnya dan menyapu 160 kota dan desa membunuh 40.000 orang di sekitarnya.
Selama lebih dari 3 tahun lamanya aerosol volkanik yang terjebak di stratosfer menyebabkan atmosfer berubah menghasilkan perubahan warna  matahari terbenam dan terbit, efek warna kebiruan-kehijauan dan fenomena halo pada matahari dan bulan di seluruh penjuru dunia.
Letusan Krakatau pada 1883 berlangsung lebih dari sekali. Dimulai dari gempa volkanik yang berlangsung pada minggu pertama bulan Mei 1883 yang terasa di Jawa Barat. 20 Mei 1883 pukul 10.30 adalah dimulainya letusan Krakatau pertama kali yang disaksikan oleh kapal perang Jerman Elizabeth yang melintas di selat Sunda. Tercatat bahwa letusan tersebut menghasilkan awan debu volkanik hingga ketinggian 11 km dan terasa hingga Batavia (160 km dari Krakatau) dan pada pukul 14.00 di sekitar selat Sunda pemandangan menjadi gelap akibat letusan tersebut. Gempa volkanik dan letusan-letusan kecil terus terjadi pada bulan Mei dan Juni di tahun yang sama.
Pada tanggal 26 Agustus 1883 Krakatau kembali meletus dan memuntahkan material piroklastik ke lautan di sekitarnya memicu terjadinya tsunami. Gelombang tsunami menyapu teluk Lampung, Teluk Betong, Caringin, Anyer dan Merak. Kapal Charles Bal berbendera Inggris yang melintas di Anyer pada tanggal 27 Agustus pagi melaporkan bahwa kondisi yang mengenaskan dengan rumah-rumah penduduk hancur, pohon-pohon tercabut dari akarnya dan mayat-mayat bergelimpangan akibat tersapu gelombang tsunami.
Pada tanggal 27 Agustus 1883 seri letusan Krakatau kembali terjadi. Tercatat setidaknya terjadi 4 kali letusan besar yang dimulai pada pukul 5.30 hingga 10.15 dan menghancurkan pulau Krakatau tersebut. Suara letusan terdengar hingga Australia, Filipina, Sri Lanka dan Pulau Rodriguez yang jaraknya 4.700 km dari Krakatau. Total debu volkanik dan piroklastik yang dimuntahkan oleh Krakatau sekitar 30 km3 menghasilkan indeks letusan (Volcanic Explosity Index) pada angka 6 yang berarti Sangat Besar. 2/3 dari pulau Krakatau runtuh dan segera setelahnya gelombang tsunami kembali terjadi menyapu sejauh 4 km di pantai Jawa dan Sumatera. Ketinggian gelombang tsunami mencapai 15 m – 40 m menghancurkan 165 kampung dan merusakkan 135 lainnya.
Tidak ada yang tahu secara pasti jumlah korban jiwa akibat letusan Krakatau baik secara langsung maupun tidak langsung. Data yang dikeluarkan oleh pihak Belanda mencatat 34.417 orang tewas, 90% dari korban tersebut meninggal akibat tsunami dan 10% lainnya akibat letusan langsung dari Krakatau. Gelombang tsunami juga meratakan semua sumber penghidupan masyarakat yaitu perkebunan dan persawahan.
Letusan Krakatau memuntahkan batuapung yang sangat melimpah hingga memenuhi selat Sunda dan Samudera Hindia. Empat minggu setelah letusan Krakatau, kapal-kapal yang melintas selat sunda dan Samudera Hindia selalu menemui kumpulan batuapung menghampar di lautan dan terkadang menemui mayat manusia atau hewan di atasnya.
Debu dari letusan Krakatau menyebar hingga 2.500 km terbawa angin segera setelah letusan terjadi. Partikel gas dan sulfur dioksida bergabung dengan hidrogen di stratosfer menghasilkan hujan asam sulfur. Aerosol yang dihasilkan juga menghalangi sinar matahari dan menurunkan suhu di 70% belahan dunia walaupun tidak seluas dari letusan Tambora (1815). Setidaknya 3 tahun lamanya langit dunia membiaskan warna yang tidak biasa dan adanya efek halo pada matahari dan bulan.
Empat puluh tahun setelah erupsi pada 29 Desember 1927, sejumlah nelayan terkejut dengan dengan kehadiran asap dan semburan gas di tengah laut pada lokasi erupsi Krakatau terdahulu. Seiring waktu, fenomena semburan asap dan gas itu berkembang menjadi sebuah gunungapi dengan ketinggian saati ini tercatat 180 m dan luas area 10 km2 yang diberinama Anak Krakatau. Anak Krakatau dinobatkan sebagai laboratorium alam menyediakan proses regenerasi biologi secara natural dari kepunahan Krakatau terdahulu.


Sumber tulisan : Volcanoes in Human History (2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar