Peristiwa alam yang memakan korban
manusia disebut bencana, sedangkan peristiwa alam yang tidak berakibat pada
manusia bukan merupakan bencana. Budaya masyarakat kita ternyata sudah memiliki
cara membaca bencana. Perlu dipadukan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Kitab Alqur’an surat QS Al Hadid,
22-24 menyatakan sebagai berikut: “TIADA SUATU PUN BENCANA YANG MENIMPA DI BUMI
INI ATAU PADA DIRIMU SENDIRI, MELAINKAN SUDAH ADA “KITAB” (CATATAN/BLUE PRINT)
SEBELUM KAMI (TUHAN) MEWUJUDKANNYA. SUNGGUH BAGI ALLAH, YANG DEMIKIAN ITU
MUDAH”
Apa yang kita pahami dari ayat ini?
Saya memahaminya sebagai berikut: Bahwa yang disebut musibah, bencana atau
penderitaan semuanya sudah ada cetak biru sebelum semua yang ada ini
diciptakan. Tidak ubahnya seorang arsitek yang membuat gambar bangunan sebelum
bangunan itu dibangun.
Bedanya: CETAK BIRU BENCANA ITU YANG
MEMBUAT MANUSIA SENDIRI. TUHAN yang Maha Kuasa memberikan IRADAT-NYA kepada
kita. Dan Dia tidak merugikan manusia sekecil apapun. Ruh manusia sebelum
diadakan di dunia ini, berdiskusi dan bernegosiasi dengan Tuhan. Manusia
mendapatkan hak prerogratif untuk hidup berdasarkan hukum alam. Inilah saat
cetak biru itu dibuat. Cetak biru itu menentukan masa kini dan masa depan
manusia.
Kita sekarang ini adalah wujud cetak
biru kita di masa lalu. Masa depan adalah wujud cetak biru kita di masa kini.
Semuanya sudah tergambar dalam kitab “hukum alam”. Ini berarti kita telah
menyetujui bahwa akan terjadi bencana alam bila kita melakukan perbuatan A, B,
atau C. Jadi kita tidak selayaknya sedih atau senang bila ada BENCANA ALAM.
Kenapa? Sebab itu adalah HASIL
PERBUATAN KITA SENDIRI. Maka, hendaknya kita membuat kebajikan dan amal sholeh
sekarang agar masa depan kita akan menjadi baik. Ayat kedua menyatakan
alasan-alasan logisnya: “HAL INI DIMAKSUDKAN AGAR KALIAN SEMUA TIDAK BERDUKA
CITA TERHADAP APA YANG LUPUT DARI USAHAMU, DAN TIDAK TERLALU GEMBIRA TERHADAP
APA YANG KAMU DAPATKAN (DI DALAM HIDUP INI). ALLAH TIDAK MENCINTAI ORANG YANG
SOMBONG DAN MEMBANGGAKAN DIRI” “MEREKA ADALAH ORANG-ORANG YANG BAKHIL DAN
MENYURUH ORANG LAIN BERBUAT BAKHIL. BARANGSIAPA YANG BERALING DARI KEBENARAN,
KETAHUILAH ALLAH ITU MAHA KAYA DAN MAHA TERPUJI”
Tuhan pasti tidak merugikan manusia.
Tidak pula memaksa manusia itu menerima perjanjiannya. Dia tawarkan dengan
sukarela. Apa yang kita terima dalam hidup sekarang ini, merupakan hasil dari
pilihan kita sendiri. Kita diberi kesempatan untuk berkarya buat kehidupan di
masa yang akan datang. Soal bencana alam sebagai akibat dari perbuatan manusia
tersebut ada alasan ilmiahnya. Sesaat, kita barangkali tidak bisa menghubungkan
kejadian bencana alam dengan polah tingkah manusia. Padahal dua hal ini sangat
erat hubungannya.
Penjelasannya seperti ini: Bencana
alam geologi pada umumnya berukuran besar. Bencana alam terbagi menjadi bencana
yang disebabkan murni oleh alam, bencana karena ulah manusia, dan terakhir adalah
bencana campuran keduanya. Bencana alam geologi terjadi karena dinamisme kerak
bumi yang dalam keberadaannya kurang lebih 5 miliar tahun telah secara terus
menerus melepaskan energi panas dalam berbagai bentuk. Pelepasan energi ini
tidak lebih karena proses pendinginan bumi sehingga kondisinya memungkinkan
untuk dihuni oleh makhluk bumi.
Namun manusialah yang
berkontribusi dalam pemanasan global. Hal ini mengakibatkan bencana alam.
Dalam lintasan sejarah, bencana alam geologi sangat akrab dengan budaya manusia.
Sebagai contoh, pusat kerajaan Mataram yang harus pindah dari Jawa Tengah ke
Jawa Timur karena letusan gunung Merapi. Contoh lainnya adalah kota Pompeii,
sebuah kota zaman Romawi kuno yang hancur karena letusan gunung vesuvius.
Sudah sejak lama Gunung berapi juga
dipahami sebagai sumber kekuatan, contoh nyatanya adalah Keraton di Yogyakarta,
Tugu, dan Gunung Merapi yang berada dalam satu garis lurus. Secara kebetulan
atau tidak, Gedung Sate yang notabene dibangun oleh Belanda, Tugu Monumen
Perjuangan Rakyat Jawa Barat dan Gunung Tangkuban Parahu juga berada dalam satu
garis lurus.
Gempa bumi yang beberapa saat lalu
menimpa saudara-saudara kita di Sumatra Barat adalah contoh bagaimana
sebenarnya gempa tidak pandang bulu. Menimpa masyarakat tanpa memandang kasta,
agama, ras suku bangsa apapun. Bahkan, yang paling banyak menjadi korban
biasanya justeru masyarakat yang secara ekonomi dikategorikan miskin. Ini juga
terjadi di Yogyakarta dan bahkan di Kobe Jepang tahun 1955. Kenapa kaum
miskin?.
Ini terjadi karena kaum miskin
kebanyakan tinggal di wilayah padat dimana fasilitas jalan di sana dan menuju
ke sana kurang layak sehingga bantuan tidak segera datang, karena akses yang
kurang ideal. Rumah-rumah warga miskin cenderung berada di sekitar gunung, pesisir
atau sungai dan terbangun di atas tanah lempung (silt) atau di wilayah
reklamasi. Fondasi di daerah seperti itu tidaklah tahan gempa. Hal ini jauh
berbeda jika dibandingkan dengan wilayah hunian kelompok elite, dimana terdapat
fasilitas jalan yang bagus dan memadai, rumah-rumah merka berdiri di dataran
yang kuat dan sebagainya.
KEARIFAN BUDAYA
Budaya masyarakat biasanya
menyesuaikan dengan alam. Budaya adalah kearifan lokal yang bisa dijadikan cara
atau alat untuk menyelamatkan diri dari bencana alam. Misalnya bencana tsunani
di Aceh 2004. Di Simelue, Aceh kenapa korban yang jatuh di daerah tersebut
relatif kecil jika dibandingkan dengan wilayah lain, yaitu hanya sekitar 44
jiwa?
Sebab para orangtua di daerah
tersebut telah mengetahui apa yang mereka anggap sebagai pertanda. Jika laut
surut tidak seperti biasanya secara mendadak, kemudian banyak ikan yang
menggelepar di garis pantai, maka akan terjadi bencana. Para tetua di sana
kemudian memerintahkan agar penduduk Simeleu untuk mengungsi ke tempat yang lebih
tinggi..
Budaya berkaitan dengan alam. Bahkan
dalam banyak peradaban, dikenal ilmu perbintangan dan penanggalan berdasarkan
fenomena alam. Misalnya, masyarakat Sunda yang mempunyai kalender Kala Sunda
dan masyarakat Jawa memiliki Kalender Pranata Mangsa. Kalender-kalender
tersebut tidak hanya sebagai penanda waktu seperti kalender sekarang, namun
lebih dari itu, terdapat makna dalam waktu-waktu tertentu.
Dalam Saka Sunda dikenal Kasa pada
sekitar Januari, dimana angin bertiup dari barat dan diperkirakan racun terbang
tertiup angin. Ciri-cirinya adalah: hujan terus menerus, sumber-sumber air
menjadi besar, sungai-sungai banjir. Pohon-pohon yang masih berbuah adalah:
Durian, Kepundung, Salak, Nangka Belanda, Lengkeng dan Gandaria. Pada masa ini
burung-burung akan sulit mencari makan, makanya akan terjadi migrasi. Untuk
petani, kegiatan yang harus dilakukan adalh memperbaiki pematang sawah yang
hancur akibat banjir.
Namun berbagai kalender yang disusun
oleh para leluhur itu, agaknya kini sudah kurang cocok diterapkan lagi. Ulah
tingkah manusia modern yang gemar mengeksploitasi alam habis-habisan membuat
pergerakan alam susah untuk dibaca. Kalender itu meskipun kini kurang cocok,
namun tidak serta merta harus ditinggalkan.
Kearifan lokal perlu diuji secara
empirik dan dikembangkan sehingga menjadi masukan besar bagi pengetahuan,
khususnya penanggulangan bencana alam. Sementara itu, manusia yang merupakan
“makrokosmos” (lebih besar dari pada alam karena besar/kecilnya alam secara
metafisis batiniah ditentukan oleh diri manusia) terap harus berkaca diri:
dialah sumber bencana yang sesungguhnya.